Selasa, 05 Oktober 2010

Paman Doblang


Paman Doblang! Paman Doblang!
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.
Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap.
Ada hawa. Tak ada angkasa.
Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata.
Terkunci. Tak tahu di mana berada.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Apa katamu?

Ketika haus aku minum dari kaleng karatan.
Sambil bersila aku mengharungi waktu
lepas dari jam, hari dan bulan
Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk
tidak berupa, tidak bernama.
Aku istirah di sini.
Tenaga ghaib memupuk jiwaku.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala.
Kamu terkurung dalam lingkaran.
Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana.
Kaki kamu dirantai ke batang karang.
Kamu dikutuk dan disalahkan.
Tanpa pengadilan.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Bubur di piring timah
didorong dengan kaki ke depanmu
Paman Doblang, apa katamu?

Kesedaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakerawala.
Dan perjuangan
adalah perlaksanaan kata-kata.

Sajak Rendra (Depok, 22 April 1984)

Kamis, 23 September 2010

surat untuk Rekanita

oleh : kader

Ketika kutulis surat ini ada rasa yang sulit kulukiskan,
semua terasa begitu cepat, detik demi detik peristiwa demi peristiwa berputar putar mengelilingiku.

Rekanita……….
Semakin hari aku terasa kehilangan akal sehat untuk memaknai semua yang ada.
Aku semakin sulit membedakan mana pejuang mana penjilat disaat kekuasaan menjadi sesuatu yang diburu dan uang menjadi alat ukur dan legitimasi segala hal.
Mungkin aku terlalu kuper dengan slogan bahwa melakukan perubahan yang paling cepat dan efektif hanya dengan tangan tangan kekuasaan.

Aku juga semakin tak memahami perjuangan yang bagaimana yang kita maksudkan untuk membebaskan dan mencerdaskan generasi pelajar, ketika semua harus terbingkai dalam balutan program dan kegiatan dengan indicator indicator sebagai tolak ukur keberhasilan dan pergeseran angka angka stastitik sebagai kesuksesan sedang perubahan perubahan menjadi sesuatu yang tidak bermakna.

Rekanita……….
Aku jadi semakin sulit mebedakan mana pejuang dan mana pekerja oportunis yang mengatasnamankan perjuangan untuk pelajar

Rekanita …….
Aku juga semakin kehilangan kata kata untuk melanjukan suratku ini...

s r i

oleh ; es.en.a

Nama panjangnya Sri Mulyani. Persis seperti nama mantan menteri keuangan negeri ini. Dia adalah sedikit orang yang membantah pernyataan punjangga asal Inggris, Shakespeare, “apalah arti sebuah nama”. Bagi Sri, begitu teman-temannya selalu memanggil, nama sangat berarti karena harus “cocok” dengan orang yang diserupainya, bahkan melebihinya.
Jika Ibu Sri Mulyani adalah mantan menteri keuangan di negeri ini, Sri juga mantan bendahara OSIS SMA favorit di kotanya. Jika Ibu Sri Mulyani otaknya encer, Sri pun selalu mendapat peringkat pertama. Jika Sri Mulyani mampu menembus di ranah internasional sebagai managing of Word Bank, sebagai siswa teladan di sekolah bertaraf Internasional, ia pernah mewakili Propinsi –nya untuk berkompetisi di tingkat Nasional pada bidang kompetensi akuntansi.
Kemiripan Sri dengan Ibu Sri Mulyani itu, membawanya sebagai “Sang Maestro”, Maestro disekolahnya. Seluruh penghuni sekolah mengenalnya, dari kepala sekolah, Guru, siswa, termasuk aku. Ya, aku mulai dekat dengannya semenjak sama-sama menjadi pengurus OSIS.
Sri juga siswi selalu yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan di sekolahnya. Maka, siapa saja siswa yang mau berbuat macam-macam dengan siswi, ia harus berhadapan dengan Sri. Pernah suatu hari, aku mesti berurusan dengannya. Gara-gara iseng menggoda salah satu temannya. Namun dibalik itu semua, Ia perempuan berjiwa lembut, baik hati, suka membantu siapa saja.
****

Suasana sekolah masih lengang, maklum jam baru menunjukkan pukul 06.15 waktu sekolah. Jadi belum ada siswa maupun siswi yang lalu-lalang di kelas. Tapi, eit...tunggu dulu. Dugaanku salah, di pojok kelas depan ruang perpustakaan, kulihat sesosok wajah yang tak asing lagi. Satu hal yang terlupa olehku, Sri selalu datang lebih pagi, meskipun bukan jadwal piketnya atau alasan lain.
“Tumben berangkat pagi? “ sapanya
“iya Sri, ada PR yang belum kukerjakan” jawabku sambil nyengir
“dasar pemalas....” selorohnya sambil pergi meninggalkanku
Begitulah Sri, selalu dan selalu mengataiku pemalas. Pernah suatu sore aku, sri, dan beberapa teman, belajar kelompok. Diantara kami yang punya otak lumayan memang sri, sedangkan aku, joni, wawan, irma, dan fendi boleh dibilang hanya cukupan.
“Sebenarnya di dunia ini tidak ada orang bodoh” bilangnya
“yang ada, Cuma orang malas” lanjutnya
Dalam hal memotivasi kami, Sri paling jitu. Aku dan yang lain dibuatnya mati kutu. Dan Sri, menjadi lentera yang menyilaukan mata, agar kami tak terpejam lagi. Belajar dan belajar, itu teriakkannya yang seolah memecahkan gendang telinga kami.
Satu lagi, motivasi yang kami dapatkan dari sri, bahwa belajar bukanlah ketersediaan waktu, melainkan pada ketundukan hati. Dan belajar bukan rangkaian aksi melainkan proses membuka diri, proses menerima.
Itu semangat yang kami dapat untuk menghadapi ujian kali ini. Oh ya, aku lupa menyebutkan, Sri, aku dan teman-teman adalah siswa dan siswi kelas tiga yang dua minggu lagi akan menempuh Ujian Nasional.
*****

Minggu sore, langit di kotaku begitu indah. Cahaya keemasan diujung barat sebagai tanda, senja akan menjelang. Burung-burung beterbangan, bersiap untuk merindu jalan pulang.
Aku sendiri saja di teras depan rumah. Menunggu sri, janji datang berkunjung, hanya sekedar membawakan soal-soal latihan UN. Sesekali aku menoleh ke jalan, berharap sri muncul dari balik gang itu.
Sudah satu jam, saat di ujung jalan, kulihat Sri mengayuh sepeda mininya, memasuki gang menuju rumahku. Dalam hitungan detik, ia telah berhenti di pagar depan. Kupersilakan ia duduk di teras depan.
“Maaf, agak terlambat....” sapanya
“tidak apa-apa”
“oh ya, ini soal-soal latihannya ndi...”
“Makasih ya sri”
“kok...sepi? pada kemana?” lanjut sri sambil membenarkan letak duduknya
“Ibu dan Bapak Pergi, hanya adikku yang ada di dalam”
“mau minum apa sri?”
“tidak usah, aku buru-buru, sebentar lagi maghrib”
Usai berkata, Sri pamit pulang. Kuantar dia sampai pagar depan. Dari balik pagar, kulihat sri melangkah semakin jauh, dan sebentar saja, sri menghilang di balik ujung jalan itu. Aku masih mematung, ketika sebuah tangan menepuk punggungku.
“Kak......!” wiwin, adik perempuanku menyadarkanku dari lamunan.
“hayo...ngelamunin siapa?” godanya
“masuk yuk...sudah maghrib” ajakku mengalihkan pembicaraan.
****

Hari itu, hari pertama, seluruh siswa/siswi kelas 3 SMA mengikuti Ujian Nasional. Sri, aku dan teman-teman lainnya, sudah sejak pagi berada di sekolah dan sibuk dengan bukunya masing-masing. Ujian hari itu, mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk pelajaran bahasa orang bule itu, sri tetap yang paling jago di sekolah. Dan waktu pagi itu, terasa cepat. Bel masuk berbunyi, sri, aku, juga yang lain memasuki ruangan.
Hari selanjutnya, selalu sama. Suasana tetap kondusif dan tenang. Siswa atau siswi yang pada hari biasa, banyak tingkah, hari itu disulap jadi pendiam, hingga akhir ujian.
“Sri.....”sapaku, saat melihat Sri berjalan gontai menuju parkir belakang kelas.
“Gimana ujiannya ndi?” tanyanya
“Mudah-mudahan, kita dan teman-teman, lulus ya sri...”
“Amin..”jawabnya
“Aku duluan ya ndi....sudah ditunggu ibu di rumah” pamitnya
Dan siang itu, kelak menjadi siang terakhir aku melihat senyum cerianya. Dan, tahukan kau kawan? Senyum itu yang diam-diam selalu kurindukan.
*****

Tiga minggu berlalu, selama itu, aku tidak lagi ketemu sri, dan teman-teman lainnya. Satu hari setelah selesai ujian, aku berlibur di kota propinsi, di tempat kakak laki-lakiku.
Hingga suatu pagi di sekolah, kudapati teman-temanku sedang duduk-duduk di depan kelas. Mereka menunggu pengumuman kelulusan. Seperti apa perasaan mereka? Mungkin saja, sama seperti halnya aku. Campur aduk, bingung, resah dan....aku tak menemukan sosok itu. Sri, dimanakah dia?
Tidak biasanya sri datang terlambat, tapi, aku memang belum melihatnya sejak tadi. Sakitkah?, sehingga ia tak bisa masuk sekolah mengambil pengumuman kelulusan?perasaan tak karuan menghantuiku.
“kau lihat sri, wan?” tanyaku pada wawan
“tidak ndi....”
Dimana dia?, ah....terasa waktu kian lambat saja. Menanti pengumuman, juga menanti kedatangan sri. Selang tiga puluh menit, penantian pertama berujung lega, haru, mungkin juga bahagia. Aku lulus, dan teman-teman dekatku seperti joni, wawan, irma, fendi, juga lulus. Namun penantian kedua, tak kunjung tiba. Hingga hari menjelang siang, tak ada tanda-tanda sri akan datang. Usai menunggu, kami berlima sepakat berkunjung ke rumah sri.
*****

Matahari di atas kotaku amat terik, ketika suatu siang, usai sholat dzuhur, aku dan teman-temanku berkunjung ke rumah sri. Agak terlalu jauh memang, karena harus melalui beberapa kota kecamatan dari sekolahan. Peluh membasahi tubuh kami, tapi tak kami hiraukan. Tujuan utama kami satu, menemui sri. Sudah separuh jam, aku dan teman-teman lalui. Dalam hitunganku, tinggal sepuluh menit, rumah sri terlihat. Dan benar, rumah ujung sendiri dekat sawah, itu rumah sri.
Seperti mempunyai firasat, sri telah menanti kami, di depan teras rumah. kami turun dari sepeda motor, dan langsung menyalami sri.
“Kok tidak masuk sekolah?” tanyaku, setelah kami dipersilakan duduk.
“Iya...”jawabnya singkat
“kenapa?”
“Bapak kepala sekolah semalem datang kesini, membawa ini....” sri mengambil sebuah amplop yang tergeletak di meja tamu, untuk diberikan padaku.
Perlahan kubuka isi amplop itu, amplop yang sama telah kudapatkan tadi di sekolah. Hening di ruangan itu, semua menunggu jawaban dariku, kecuali sri. Belum aku membacakan isi amplop itu, kudengar lirih suara sri
“aku belum berhasil....”
“aku tak seberuntung kalian”
Tak ada tangis di wajahnya, begitu tegar, sri menjelaskan panjang lebar kepada kami. Aku mendapati sosoknya, seperti batu karang yang tegap berdiri, meski badai menghantam.
“kalian tak perlu bersedih, aku pun tak sedih” lanjutnya
“Jalan yang ditentukan Tuhan untukku, tak sama dengan jalan kalian”
“aku yakin, masih ada kesempatan untukku memperbaiki”
Aku masih tertunduk, tak kuasa aku menatap wajah sri. Aku juga belum percaya. Ketidak lulusan sri, belum bisa kuterima akal sehatku. Sri adalah siswi berprestasi, sri siswi genius, sri juara tingkat nasional. Sebab ketidak lulusannya, nilai ujian Bahasa Inggris di bawah standar. Ironisnya, sri mahir berbahasa orang bule itu. Lama aku terdiam dalam kebisuan, di dasar hatiku yang dalam, sebuah tanya menggema, “Adakah alasan lain yang membuatku percaya, kenapa sri, sang maestro sekolahku tidak lulus?” *****


(kupersembahkan cerpen ini untuk adik-adiku di SMA)

MENGGUGAT APOLOGISME AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH

Di era globalisasi ini, masyarakat kita dihadapkan pada serangkaian tantangan Pluralisme agama, konflik intern dan menajamnya wawasan pemikiran keagamaan meminta jawaban semua pihak, tidak terkecuali kalangan generasi muda NU.

Ahlussunnah wal jama’ah (selanjutnya disingkat ASWAJA), sebagaimana kita ketahui lebih berhubungan dengan doktrin ketimbang dilihat dari sisi keilmuan dan epistemologi. Akhirnya yang terjadi adalah “apologisme pemikiran” terhadap sebagian besar umat bahwa aswaja merupakan madzab yang harus diikuti dan dibela. Lebih tragis lagi, Aswaja ternyata sudah diakui secara legal melalui hadist Nabi SAW sebagai “kelompok atau golongan yang dijamin masuk sorga”.

Dalam locus ini, sesuai watak dan karakter IPNU-IPPNU yang fokus terhadap misi leilmuan, sangat menarik membicarakan Aswaja tidak saja sebagai doktrin semata, amun perlu dikembangkan para tataran dan bidikan perombakan pemikiran yang selama ini dirasa masih belum banyak dilakukan.

Menggugat apologisme Aswaja mengandaikan adanya gerakan pemikiran (harakah fikriyah) yang mengacu pada studi kritis mengenai keabsahan konsep dan pemahaman keagamaan aswaja yang bersifat inklusif. Sehingga “kejumudan” pemikiran dapat beranjak menjadi “pencerahan” dalam rangka menghadapi tantangan zaman dan maraknya perbedaan diantara kita. Menggugat apologisme tidak menafikan prototype awal yang memang menjadi pijakan selama ini.

Aswaja sebagai konsep sangat mungkin untuk dicerna ulang dan dikritisi dari sudut pandang keagamaan dan keilmuan. Karena sejak pertama digulirkan aswaja bersifat universal dan mungkin juga bersifat abadi. Dalam pandangan epistemologi keilmuan, segala sesuatu tidak lepas dari penemuan baru, keterbukaan dan demokratisasi, sangat wajar, manakala eksistensi aswaja pernah menjadi polemik berkepanjangan antara para pakar NU beberapa tahun lalu.

Persoalannya, mampukan kita mencoba menggugat keberadaan aswaja yang bersifat apologis di kalangan masyarakat NU itu. Padahal, tidak bisa dinafikan bahwa ia telah menjadi kepercayaan umat Islam secara keseluruhan.

Makna Aswaja
Kata “Aswaja” berasal dari sabda Nabi Muhammad SAW, “Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada dalan tangan-Nya, akan berpecah ematku menjadi 73 golongan (firqoh). Yang satu masuk sorga dan yang lain masuk neraka. “ siapakah golongan yang tidak masuk neraka itu ya Rasulallah? “sahabat bertanya. “ Ahlussunnah wal Jamaah,”jawab Rasulallah.”

Sedangkan dalam hadist lain, yang dimaksud ahlussunnah waljamaah adalah “ma ana ‘alayhi wa ash-haby” (orang yang berpegang pada I’tiqadku dan sahabat-sahabatku).
Sejauh pengertian yang diberikan kalangan NU, Aswaja adalah golongan pengikut yang setia pada Ahlussunnah Wal Jamaah. Yaitu ajaran Islam yang dibawa dan diamalkan Nabi SAW bersama para pengiktunya pada zaman itu (Chairul Anam, pertumbuhan dan perkembangan NU, 1999:145). Dalam pengertian yang lebih edukatif, aswaja adalah pengikut ajaran Islam yang berlandaskan: al Quran, al Hadist, dan Sunnah Khulafaurrasyidin (ibid).

Dalam telaah sejarah, Dr Thaha Hamim berpendapat bahwa paham Aswaja merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul zaman tertentu. Hal itu dilakukan agar “paham sunni” (baca: Aswaja- red) bisa selalu relevan dengan perkembangan baru yang muncul seiring dengan berubahnya waktu (Thaha Hamim, kontroversi aswaja, 2000:149-150).

Apologetik ( Pembelaan diri) Aswaja
Apologisme aswaja terletak pada kalaim “ suatu golongan masuk surga “. Perkataan ini seolah manafikan kelompok Islam yang lain. Artinya kepada mereka yang hanya meyakini Al-Qur’an sebgai dasar hukum dan mereka yang tidak mengakui kepemimpinan khulafarurasyidin akan masuk neraka.

Pendekatan apologetik ini cenderung normatif dan idialistik , dengan mengabaikan realitas sosial . walaupun pada sisi lain menguntungkan , karena apologisme pada dasarnya merupakan mekanisme pemebelaan diri ( defense mechanism ) terhadap ancaman , tantangan dan kritik dari luar yang sering sangat agresif.

Tantangan Aswaja
Doktrin sunni yang proses pembakuanya memakan waktu lama akhirnya dipertanyakan keabsahan oleh kelompok modernis. Hadis yang dijadikan dasar munculnya aswaja dipertanyakan meskipun tidak ditolak . Mereka menerima hadis dengan penuh reservasi . Misalnya Ahmad Khan dan Muhammmad Abduh, mereka hanya mau menggunakan hadis sebagai acuan hukum kandunganya selama tidak bertentangan dengan akal . Dalam sistem bermadzhab- yang menjadi bagian panutan- kaum NU menghadpi kritik tajam dari kalangan modernis . Mereka nmenganggap bahwa setiap amal ibadah harus didasarkan langsung pada ketentuan teks dan bukan pada pendapat fuqaha , karena ibadah yang menjadi haqq al syari’. Harus bersih dari unsur manusia.

kepada kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

“HOMESCHOOLING ALA MR. KOBAYASHI”


presensi ; mimahk iniarun

Pada dasawarsa terakhir ini, istilah “homeschooling” menjadi “trend Issue” negeri ini. Istilah ini merujuk pada aktifitas pembelajaran di rumah atau tempat lain. Dimana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan. Tujuannya, agar potensi anak yang unik dapat dikembangkan secara maksimal.

Di luar negeri, Jepang misalnya, istilah ini ternyata bukan hal yang baru lagi. Sekitar tahun 1937, Sosaku Kobayashi menjadi penggagas berdirinya sekolah Tomoe. Dan kelak metode sekolah tersebut, menjadi inspirasi model alternative pembelajaran yang sedang marak di negeri ini.

Membaca Buku Totto-Can, karangan Tetsuko Kuroynagi, kita benar-benar disuguhi metode pendidikan ala Mr. Kobayashi. Melalui tokoh gadis cilik bernama Totto-chan, ia ingin meyakinkan bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak baik. Yang kemudian dengan mudah bias dirusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh buruk orang dewasa.

Ketika Totto-chan dianggap nakal oleh ibu guru di sekolah sebelumnya, ternyata ia hanya punya rasa ingin tahu yang besar dan tidak didapatkan disekolah tersebut. Di sekolah Tomoe, Totto-chan merasa senang. Apalagi ia belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan.

Inilah uniknya sekolah Tomoe, para murid diperbolehkan mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu. Pokoknya sesuka mereka.

“serahkan mereka kepada alam, jangan patahkan ambisi mereka”. Begitu kira-kira yang juga ingin disampaikan dalam buku yang tebal halamannya 271 ini. Karena Mr. Kobayashi menghargai segala sesuatu yang alamiah dan ingin agar karakter anak-anak berkembang sealamiah mungkin.

Nah, bagi anda yang ingin mengembangkan metode alternative pembelajaran ala homeshooling, bisa jadi buku ini menjadi salah referensi yang menarik. Terdiri dari 63 cerita mengesankan dan unik. Selain itu, bahasa yang digunakan penulis pun mudah dipahami serta boleh dibilang runtut. Bisa jadi karena sang penulis, Tetsuko, menjadi objek langsung cerita tersebut.

Sepenggal Kisah dari Kartini


Di suatu waktu, ketika jam istirahat, di bawah pohon-pohon baru yang sedang berkembang kuning di pelataran sekolah itu, menggerombol tak teratur beberapa gadis di atas permadani rumput hijau yang empuk tebal. Begitu panasnya waktu, tak seorangpun berniat hendak bermain-main.

“Ayo, lesty, berceritalah atau membacalah buat kami”, rayu seorang gadis, seorang anak peribumi, yang tak lain adalah kartini. Seorang gadis putih yang besar, yang sedang bersandar pada batang pohon, serta membaca buku dengan rajinnya mengangkat pandang dan menjawab. “Ah tidak, aku harus meneruskan pelajaran bahasa Prancis”.

“Kan bisa kau lakukan juga di rumah, itu bukan pekerjaan sekolah?”. “Ya, tapi kalau aku tak rajin, aku tak bias menguasai bahasa prancis dengan baik, dua tahun lagi aku akan pergi ke Holland, dan aku sudah begitu ingin meneruskan sekolah guru di sana. Tapi coba katakan padaku kartini, kau mau jadi apa kelak?”
Sepasang mata yang besar menatap pembicaraan itu dengan heran. “Ayolah katakan?”.
“Aku tidak tahu” jawab kartini. Ya, memang ia tak tahu, tak pernah ia memikirkan itu sebelumnya, ia masih sangat muda dan tiada mempedulikan sesuatu pun.

Namun diam-diam, pertanyaan kawannya itu meninggalkan kesan yang dalam padanya. “Kau mau jadi apa kelak”? Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hari itu, menjadi sepenggal kisah pengalamannya, yang kelak ternyata menjadi kunci dari perjuangannya yang tak kenal menyerah. Perjuangan pendidikan untuk kaumnya.
*****
Perjuangan Kartini memang sangatlah mulia, ia menginginkan agar perempuan Indonesia bangkit mendobrak tradisi, muncul ke orbit sehingga dapat berprestasi setinggi-tingginya, membuat kesetaraan gender terutama di bidang pendidikan.

Pendidikan, memang salah satu yang menjadi kepedulian utama Kartini untuk memajukan perempuan dan bangsa bumiputra umumnya. Adalah Kartini, yang mengirimkan Nota kepada Pemerintah Kolonial, yang dikirimkan kepada penasehat hukum Kementerian Jajahan, Slingenberg tahun 1903. Bertepatan dengan masih berlangsungnya Politik Etis pemeritah Kolonial Belanda. Nota Kartini berjudul Berilah Pendidikan kepada Bangsa Jawa, memuat berbagai hal termasuk kritik terhadap kebijakan, prilaku pejabat dan pemerintah kolonial dalam bidang kesehatan, budaya, dan pendidikan.

Terutama sekali pendidikan, Kartini menekankan pentingnya bangsa Bumiputra terdidik. Meksipun masih dalam konteks di bawah payung Kerajaan Belanda, Kartini secara implisit meminta agar pemerintah kolonial mendukung gerakan pemuda Bumiputra di Hindia Belanda, dalam hal ini de Indische Vereeniging yang menerbitkan majalah Bintang Hindia. Mengenai pendidikan bagi Bumiputra, Kartini mengingatkan bila para pamong praja terdidik maka ia akan mendidik pula bawahannya.

Tampak bahwa Kartini menyadari tak mungkin untuk mendidik 27 juta orang sekaligus. Khususnya pendidikan bahasa Belanda, tidaklah untuk menghilangkan budaya dan bahasa lokal Jawa yang halus dan tinggi. Nota Kartini menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan bahwa perempuan generasi tua saat ini pun mendukungnya. Dalam suratnya yang kepad Ny Abendanon Kartini menyatakan bahwa pengajaran bagi perempuan akan menjadi rahmat dan bermanfaat bagi masyarakat Bumiputra pada umumnya.

Pada konteks politik Indonesia saat ini dan dimana pun juga, tingkat pendidikan perempuan memang bisa menjadi jembatan utama kemajuan. Perempuan berpendidikan akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik. Boleh saja dinyatakan bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan belum lepas dari peran gender perempuan sebagai ibu, tentu saja ini bisa dimaklumi mengingat konteks hidup Kartini pada masa itu: menjadi perempuan adalah berarti kawin dan menjadi ibu. Bahwa pendidikan akan memberi arti lebih perempuan sebagai ibu, itulah yang tidak banyak orang pikirkan.

Kartini berbekal pengetahuan, statusnya sebagai anak Bupati, membawanya terlibat dalam politik. Ia membantu ayahnya menulis laporan untuk De Locomotief, mengirimkan Nota jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh penasehat hukum Kementerian Jajahan, dan menulis surat permohonan beasiswa kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Nota Kartini hingga kini tersimpan sebagai Nota Politik Pemerintah Kolonial Belanda.

Pendidikan juga memberi peluang bagi perempuan untuk memilih profesi, ini dinyatakan Kartini: “Roekmini akan belajar seni rupa…untuk menghidupkan lagi seni Hindia,… menuju kemakmuran rakyat. Si Kecil (Kardinah); sekolah rumah tangga, agar dapat mengajarkan calon ibu serta ibu harga uang dan sifat hemat…saya akan belajar bidang pengajaran agara mengajar calon ibu di samping ilmu pengetahuan juga pengertian kasih dan keadilan…” (Kpd.Ovink Soer, 1900).
****
Lebih dari seabad, Kartini telah menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Kini apakah kita masih bisa menangkap anjuran dan mempraktekannya?. Pendidikan yang dimaksud Kartini bukanlah pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan budi pekerti.

Sedang faktanya juga pemimpin negara perempuan adalah mereka yang telah memperoleh pendidikan yang baik. Mary Robinson, yang pernah menjadi Presiden Irlandia adalah pengacara, Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia adalah seorang dokter. Bagaimana dengan anda, perempuan-perempuan muda Indonesia?