Kamis, 23 September 2010

surat untuk Rekanita

oleh : kader

Ketika kutulis surat ini ada rasa yang sulit kulukiskan,
semua terasa begitu cepat, detik demi detik peristiwa demi peristiwa berputar putar mengelilingiku.

Rekanita……….
Semakin hari aku terasa kehilangan akal sehat untuk memaknai semua yang ada.
Aku semakin sulit membedakan mana pejuang mana penjilat disaat kekuasaan menjadi sesuatu yang diburu dan uang menjadi alat ukur dan legitimasi segala hal.
Mungkin aku terlalu kuper dengan slogan bahwa melakukan perubahan yang paling cepat dan efektif hanya dengan tangan tangan kekuasaan.

Aku juga semakin tak memahami perjuangan yang bagaimana yang kita maksudkan untuk membebaskan dan mencerdaskan generasi pelajar, ketika semua harus terbingkai dalam balutan program dan kegiatan dengan indicator indicator sebagai tolak ukur keberhasilan dan pergeseran angka angka stastitik sebagai kesuksesan sedang perubahan perubahan menjadi sesuatu yang tidak bermakna.

Rekanita……….
Aku jadi semakin sulit mebedakan mana pejuang dan mana pekerja oportunis yang mengatasnamankan perjuangan untuk pelajar

Rekanita …….
Aku juga semakin kehilangan kata kata untuk melanjukan suratku ini...

s r i

oleh ; es.en.a

Nama panjangnya Sri Mulyani. Persis seperti nama mantan menteri keuangan negeri ini. Dia adalah sedikit orang yang membantah pernyataan punjangga asal Inggris, Shakespeare, “apalah arti sebuah nama”. Bagi Sri, begitu teman-temannya selalu memanggil, nama sangat berarti karena harus “cocok” dengan orang yang diserupainya, bahkan melebihinya.
Jika Ibu Sri Mulyani adalah mantan menteri keuangan di negeri ini, Sri juga mantan bendahara OSIS SMA favorit di kotanya. Jika Ibu Sri Mulyani otaknya encer, Sri pun selalu mendapat peringkat pertama. Jika Sri Mulyani mampu menembus di ranah internasional sebagai managing of Word Bank, sebagai siswa teladan di sekolah bertaraf Internasional, ia pernah mewakili Propinsi –nya untuk berkompetisi di tingkat Nasional pada bidang kompetensi akuntansi.
Kemiripan Sri dengan Ibu Sri Mulyani itu, membawanya sebagai “Sang Maestro”, Maestro disekolahnya. Seluruh penghuni sekolah mengenalnya, dari kepala sekolah, Guru, siswa, termasuk aku. Ya, aku mulai dekat dengannya semenjak sama-sama menjadi pengurus OSIS.
Sri juga siswi selalu yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan di sekolahnya. Maka, siapa saja siswa yang mau berbuat macam-macam dengan siswi, ia harus berhadapan dengan Sri. Pernah suatu hari, aku mesti berurusan dengannya. Gara-gara iseng menggoda salah satu temannya. Namun dibalik itu semua, Ia perempuan berjiwa lembut, baik hati, suka membantu siapa saja.
****

Suasana sekolah masih lengang, maklum jam baru menunjukkan pukul 06.15 waktu sekolah. Jadi belum ada siswa maupun siswi yang lalu-lalang di kelas. Tapi, eit...tunggu dulu. Dugaanku salah, di pojok kelas depan ruang perpustakaan, kulihat sesosok wajah yang tak asing lagi. Satu hal yang terlupa olehku, Sri selalu datang lebih pagi, meskipun bukan jadwal piketnya atau alasan lain.
“Tumben berangkat pagi? “ sapanya
“iya Sri, ada PR yang belum kukerjakan” jawabku sambil nyengir
“dasar pemalas....” selorohnya sambil pergi meninggalkanku
Begitulah Sri, selalu dan selalu mengataiku pemalas. Pernah suatu sore aku, sri, dan beberapa teman, belajar kelompok. Diantara kami yang punya otak lumayan memang sri, sedangkan aku, joni, wawan, irma, dan fendi boleh dibilang hanya cukupan.
“Sebenarnya di dunia ini tidak ada orang bodoh” bilangnya
“yang ada, Cuma orang malas” lanjutnya
Dalam hal memotivasi kami, Sri paling jitu. Aku dan yang lain dibuatnya mati kutu. Dan Sri, menjadi lentera yang menyilaukan mata, agar kami tak terpejam lagi. Belajar dan belajar, itu teriakkannya yang seolah memecahkan gendang telinga kami.
Satu lagi, motivasi yang kami dapatkan dari sri, bahwa belajar bukanlah ketersediaan waktu, melainkan pada ketundukan hati. Dan belajar bukan rangkaian aksi melainkan proses membuka diri, proses menerima.
Itu semangat yang kami dapat untuk menghadapi ujian kali ini. Oh ya, aku lupa menyebutkan, Sri, aku dan teman-teman adalah siswa dan siswi kelas tiga yang dua minggu lagi akan menempuh Ujian Nasional.
*****

Minggu sore, langit di kotaku begitu indah. Cahaya keemasan diujung barat sebagai tanda, senja akan menjelang. Burung-burung beterbangan, bersiap untuk merindu jalan pulang.
Aku sendiri saja di teras depan rumah. Menunggu sri, janji datang berkunjung, hanya sekedar membawakan soal-soal latihan UN. Sesekali aku menoleh ke jalan, berharap sri muncul dari balik gang itu.
Sudah satu jam, saat di ujung jalan, kulihat Sri mengayuh sepeda mininya, memasuki gang menuju rumahku. Dalam hitungan detik, ia telah berhenti di pagar depan. Kupersilakan ia duduk di teras depan.
“Maaf, agak terlambat....” sapanya
“tidak apa-apa”
“oh ya, ini soal-soal latihannya ndi...”
“Makasih ya sri”
“kok...sepi? pada kemana?” lanjut sri sambil membenarkan letak duduknya
“Ibu dan Bapak Pergi, hanya adikku yang ada di dalam”
“mau minum apa sri?”
“tidak usah, aku buru-buru, sebentar lagi maghrib”
Usai berkata, Sri pamit pulang. Kuantar dia sampai pagar depan. Dari balik pagar, kulihat sri melangkah semakin jauh, dan sebentar saja, sri menghilang di balik ujung jalan itu. Aku masih mematung, ketika sebuah tangan menepuk punggungku.
“Kak......!” wiwin, adik perempuanku menyadarkanku dari lamunan.
“hayo...ngelamunin siapa?” godanya
“masuk yuk...sudah maghrib” ajakku mengalihkan pembicaraan.
****

Hari itu, hari pertama, seluruh siswa/siswi kelas 3 SMA mengikuti Ujian Nasional. Sri, aku dan teman-teman lainnya, sudah sejak pagi berada di sekolah dan sibuk dengan bukunya masing-masing. Ujian hari itu, mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk pelajaran bahasa orang bule itu, sri tetap yang paling jago di sekolah. Dan waktu pagi itu, terasa cepat. Bel masuk berbunyi, sri, aku, juga yang lain memasuki ruangan.
Hari selanjutnya, selalu sama. Suasana tetap kondusif dan tenang. Siswa atau siswi yang pada hari biasa, banyak tingkah, hari itu disulap jadi pendiam, hingga akhir ujian.
“Sri.....”sapaku, saat melihat Sri berjalan gontai menuju parkir belakang kelas.
“Gimana ujiannya ndi?” tanyanya
“Mudah-mudahan, kita dan teman-teman, lulus ya sri...”
“Amin..”jawabnya
“Aku duluan ya ndi....sudah ditunggu ibu di rumah” pamitnya
Dan siang itu, kelak menjadi siang terakhir aku melihat senyum cerianya. Dan, tahukan kau kawan? Senyum itu yang diam-diam selalu kurindukan.
*****

Tiga minggu berlalu, selama itu, aku tidak lagi ketemu sri, dan teman-teman lainnya. Satu hari setelah selesai ujian, aku berlibur di kota propinsi, di tempat kakak laki-lakiku.
Hingga suatu pagi di sekolah, kudapati teman-temanku sedang duduk-duduk di depan kelas. Mereka menunggu pengumuman kelulusan. Seperti apa perasaan mereka? Mungkin saja, sama seperti halnya aku. Campur aduk, bingung, resah dan....aku tak menemukan sosok itu. Sri, dimanakah dia?
Tidak biasanya sri datang terlambat, tapi, aku memang belum melihatnya sejak tadi. Sakitkah?, sehingga ia tak bisa masuk sekolah mengambil pengumuman kelulusan?perasaan tak karuan menghantuiku.
“kau lihat sri, wan?” tanyaku pada wawan
“tidak ndi....”
Dimana dia?, ah....terasa waktu kian lambat saja. Menanti pengumuman, juga menanti kedatangan sri. Selang tiga puluh menit, penantian pertama berujung lega, haru, mungkin juga bahagia. Aku lulus, dan teman-teman dekatku seperti joni, wawan, irma, fendi, juga lulus. Namun penantian kedua, tak kunjung tiba. Hingga hari menjelang siang, tak ada tanda-tanda sri akan datang. Usai menunggu, kami berlima sepakat berkunjung ke rumah sri.
*****

Matahari di atas kotaku amat terik, ketika suatu siang, usai sholat dzuhur, aku dan teman-temanku berkunjung ke rumah sri. Agak terlalu jauh memang, karena harus melalui beberapa kota kecamatan dari sekolahan. Peluh membasahi tubuh kami, tapi tak kami hiraukan. Tujuan utama kami satu, menemui sri. Sudah separuh jam, aku dan teman-teman lalui. Dalam hitunganku, tinggal sepuluh menit, rumah sri terlihat. Dan benar, rumah ujung sendiri dekat sawah, itu rumah sri.
Seperti mempunyai firasat, sri telah menanti kami, di depan teras rumah. kami turun dari sepeda motor, dan langsung menyalami sri.
“Kok tidak masuk sekolah?” tanyaku, setelah kami dipersilakan duduk.
“Iya...”jawabnya singkat
“kenapa?”
“Bapak kepala sekolah semalem datang kesini, membawa ini....” sri mengambil sebuah amplop yang tergeletak di meja tamu, untuk diberikan padaku.
Perlahan kubuka isi amplop itu, amplop yang sama telah kudapatkan tadi di sekolah. Hening di ruangan itu, semua menunggu jawaban dariku, kecuali sri. Belum aku membacakan isi amplop itu, kudengar lirih suara sri
“aku belum berhasil....”
“aku tak seberuntung kalian”
Tak ada tangis di wajahnya, begitu tegar, sri menjelaskan panjang lebar kepada kami. Aku mendapati sosoknya, seperti batu karang yang tegap berdiri, meski badai menghantam.
“kalian tak perlu bersedih, aku pun tak sedih” lanjutnya
“Jalan yang ditentukan Tuhan untukku, tak sama dengan jalan kalian”
“aku yakin, masih ada kesempatan untukku memperbaiki”
Aku masih tertunduk, tak kuasa aku menatap wajah sri. Aku juga belum percaya. Ketidak lulusan sri, belum bisa kuterima akal sehatku. Sri adalah siswi berprestasi, sri siswi genius, sri juara tingkat nasional. Sebab ketidak lulusannya, nilai ujian Bahasa Inggris di bawah standar. Ironisnya, sri mahir berbahasa orang bule itu. Lama aku terdiam dalam kebisuan, di dasar hatiku yang dalam, sebuah tanya menggema, “Adakah alasan lain yang membuatku percaya, kenapa sri, sang maestro sekolahku tidak lulus?” *****


(kupersembahkan cerpen ini untuk adik-adiku di SMA)

MENGGUGAT APOLOGISME AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH

Di era globalisasi ini, masyarakat kita dihadapkan pada serangkaian tantangan Pluralisme agama, konflik intern dan menajamnya wawasan pemikiran keagamaan meminta jawaban semua pihak, tidak terkecuali kalangan generasi muda NU.

Ahlussunnah wal jama’ah (selanjutnya disingkat ASWAJA), sebagaimana kita ketahui lebih berhubungan dengan doktrin ketimbang dilihat dari sisi keilmuan dan epistemologi. Akhirnya yang terjadi adalah “apologisme pemikiran” terhadap sebagian besar umat bahwa aswaja merupakan madzab yang harus diikuti dan dibela. Lebih tragis lagi, Aswaja ternyata sudah diakui secara legal melalui hadist Nabi SAW sebagai “kelompok atau golongan yang dijamin masuk sorga”.

Dalam locus ini, sesuai watak dan karakter IPNU-IPPNU yang fokus terhadap misi leilmuan, sangat menarik membicarakan Aswaja tidak saja sebagai doktrin semata, amun perlu dikembangkan para tataran dan bidikan perombakan pemikiran yang selama ini dirasa masih belum banyak dilakukan.

Menggugat apologisme Aswaja mengandaikan adanya gerakan pemikiran (harakah fikriyah) yang mengacu pada studi kritis mengenai keabsahan konsep dan pemahaman keagamaan aswaja yang bersifat inklusif. Sehingga “kejumudan” pemikiran dapat beranjak menjadi “pencerahan” dalam rangka menghadapi tantangan zaman dan maraknya perbedaan diantara kita. Menggugat apologisme tidak menafikan prototype awal yang memang menjadi pijakan selama ini.

Aswaja sebagai konsep sangat mungkin untuk dicerna ulang dan dikritisi dari sudut pandang keagamaan dan keilmuan. Karena sejak pertama digulirkan aswaja bersifat universal dan mungkin juga bersifat abadi. Dalam pandangan epistemologi keilmuan, segala sesuatu tidak lepas dari penemuan baru, keterbukaan dan demokratisasi, sangat wajar, manakala eksistensi aswaja pernah menjadi polemik berkepanjangan antara para pakar NU beberapa tahun lalu.

Persoalannya, mampukan kita mencoba menggugat keberadaan aswaja yang bersifat apologis di kalangan masyarakat NU itu. Padahal, tidak bisa dinafikan bahwa ia telah menjadi kepercayaan umat Islam secara keseluruhan.

Makna Aswaja
Kata “Aswaja” berasal dari sabda Nabi Muhammad SAW, “Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada dalan tangan-Nya, akan berpecah ematku menjadi 73 golongan (firqoh). Yang satu masuk sorga dan yang lain masuk neraka. “ siapakah golongan yang tidak masuk neraka itu ya Rasulallah? “sahabat bertanya. “ Ahlussunnah wal Jamaah,”jawab Rasulallah.”

Sedangkan dalam hadist lain, yang dimaksud ahlussunnah waljamaah adalah “ma ana ‘alayhi wa ash-haby” (orang yang berpegang pada I’tiqadku dan sahabat-sahabatku).
Sejauh pengertian yang diberikan kalangan NU, Aswaja adalah golongan pengikut yang setia pada Ahlussunnah Wal Jamaah. Yaitu ajaran Islam yang dibawa dan diamalkan Nabi SAW bersama para pengiktunya pada zaman itu (Chairul Anam, pertumbuhan dan perkembangan NU, 1999:145). Dalam pengertian yang lebih edukatif, aswaja adalah pengikut ajaran Islam yang berlandaskan: al Quran, al Hadist, dan Sunnah Khulafaurrasyidin (ibid).

Dalam telaah sejarah, Dr Thaha Hamim berpendapat bahwa paham Aswaja merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul zaman tertentu. Hal itu dilakukan agar “paham sunni” (baca: Aswaja- red) bisa selalu relevan dengan perkembangan baru yang muncul seiring dengan berubahnya waktu (Thaha Hamim, kontroversi aswaja, 2000:149-150).

Apologetik ( Pembelaan diri) Aswaja
Apologisme aswaja terletak pada kalaim “ suatu golongan masuk surga “. Perkataan ini seolah manafikan kelompok Islam yang lain. Artinya kepada mereka yang hanya meyakini Al-Qur’an sebgai dasar hukum dan mereka yang tidak mengakui kepemimpinan khulafarurasyidin akan masuk neraka.

Pendekatan apologetik ini cenderung normatif dan idialistik , dengan mengabaikan realitas sosial . walaupun pada sisi lain menguntungkan , karena apologisme pada dasarnya merupakan mekanisme pemebelaan diri ( defense mechanism ) terhadap ancaman , tantangan dan kritik dari luar yang sering sangat agresif.

Tantangan Aswaja
Doktrin sunni yang proses pembakuanya memakan waktu lama akhirnya dipertanyakan keabsahan oleh kelompok modernis. Hadis yang dijadikan dasar munculnya aswaja dipertanyakan meskipun tidak ditolak . Mereka menerima hadis dengan penuh reservasi . Misalnya Ahmad Khan dan Muhammmad Abduh, mereka hanya mau menggunakan hadis sebagai acuan hukum kandunganya selama tidak bertentangan dengan akal . Dalam sistem bermadzhab- yang menjadi bagian panutan- kaum NU menghadpi kritik tajam dari kalangan modernis . Mereka nmenganggap bahwa setiap amal ibadah harus didasarkan langsung pada ketentuan teks dan bukan pada pendapat fuqaha , karena ibadah yang menjadi haqq al syari’. Harus bersih dari unsur manusia.

kepada kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

“HOMESCHOOLING ALA MR. KOBAYASHI”


presensi ; mimahk iniarun

Pada dasawarsa terakhir ini, istilah “homeschooling” menjadi “trend Issue” negeri ini. Istilah ini merujuk pada aktifitas pembelajaran di rumah atau tempat lain. Dimana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan. Tujuannya, agar potensi anak yang unik dapat dikembangkan secara maksimal.

Di luar negeri, Jepang misalnya, istilah ini ternyata bukan hal yang baru lagi. Sekitar tahun 1937, Sosaku Kobayashi menjadi penggagas berdirinya sekolah Tomoe. Dan kelak metode sekolah tersebut, menjadi inspirasi model alternative pembelajaran yang sedang marak di negeri ini.

Membaca Buku Totto-Can, karangan Tetsuko Kuroynagi, kita benar-benar disuguhi metode pendidikan ala Mr. Kobayashi. Melalui tokoh gadis cilik bernama Totto-chan, ia ingin meyakinkan bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak baik. Yang kemudian dengan mudah bias dirusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh buruk orang dewasa.

Ketika Totto-chan dianggap nakal oleh ibu guru di sekolah sebelumnya, ternyata ia hanya punya rasa ingin tahu yang besar dan tidak didapatkan disekolah tersebut. Di sekolah Tomoe, Totto-chan merasa senang. Apalagi ia belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan.

Inilah uniknya sekolah Tomoe, para murid diperbolehkan mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu. Pokoknya sesuka mereka.

“serahkan mereka kepada alam, jangan patahkan ambisi mereka”. Begitu kira-kira yang juga ingin disampaikan dalam buku yang tebal halamannya 271 ini. Karena Mr. Kobayashi menghargai segala sesuatu yang alamiah dan ingin agar karakter anak-anak berkembang sealamiah mungkin.

Nah, bagi anda yang ingin mengembangkan metode alternative pembelajaran ala homeshooling, bisa jadi buku ini menjadi salah referensi yang menarik. Terdiri dari 63 cerita mengesankan dan unik. Selain itu, bahasa yang digunakan penulis pun mudah dipahami serta boleh dibilang runtut. Bisa jadi karena sang penulis, Tetsuko, menjadi objek langsung cerita tersebut.

Sepenggal Kisah dari Kartini


Di suatu waktu, ketika jam istirahat, di bawah pohon-pohon baru yang sedang berkembang kuning di pelataran sekolah itu, menggerombol tak teratur beberapa gadis di atas permadani rumput hijau yang empuk tebal. Begitu panasnya waktu, tak seorangpun berniat hendak bermain-main.

“Ayo, lesty, berceritalah atau membacalah buat kami”, rayu seorang gadis, seorang anak peribumi, yang tak lain adalah kartini. Seorang gadis putih yang besar, yang sedang bersandar pada batang pohon, serta membaca buku dengan rajinnya mengangkat pandang dan menjawab. “Ah tidak, aku harus meneruskan pelajaran bahasa Prancis”.

“Kan bisa kau lakukan juga di rumah, itu bukan pekerjaan sekolah?”. “Ya, tapi kalau aku tak rajin, aku tak bias menguasai bahasa prancis dengan baik, dua tahun lagi aku akan pergi ke Holland, dan aku sudah begitu ingin meneruskan sekolah guru di sana. Tapi coba katakan padaku kartini, kau mau jadi apa kelak?”
Sepasang mata yang besar menatap pembicaraan itu dengan heran. “Ayolah katakan?”.
“Aku tidak tahu” jawab kartini. Ya, memang ia tak tahu, tak pernah ia memikirkan itu sebelumnya, ia masih sangat muda dan tiada mempedulikan sesuatu pun.

Namun diam-diam, pertanyaan kawannya itu meninggalkan kesan yang dalam padanya. “Kau mau jadi apa kelak”? Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hari itu, menjadi sepenggal kisah pengalamannya, yang kelak ternyata menjadi kunci dari perjuangannya yang tak kenal menyerah. Perjuangan pendidikan untuk kaumnya.
*****
Perjuangan Kartini memang sangatlah mulia, ia menginginkan agar perempuan Indonesia bangkit mendobrak tradisi, muncul ke orbit sehingga dapat berprestasi setinggi-tingginya, membuat kesetaraan gender terutama di bidang pendidikan.

Pendidikan, memang salah satu yang menjadi kepedulian utama Kartini untuk memajukan perempuan dan bangsa bumiputra umumnya. Adalah Kartini, yang mengirimkan Nota kepada Pemerintah Kolonial, yang dikirimkan kepada penasehat hukum Kementerian Jajahan, Slingenberg tahun 1903. Bertepatan dengan masih berlangsungnya Politik Etis pemeritah Kolonial Belanda. Nota Kartini berjudul Berilah Pendidikan kepada Bangsa Jawa, memuat berbagai hal termasuk kritik terhadap kebijakan, prilaku pejabat dan pemerintah kolonial dalam bidang kesehatan, budaya, dan pendidikan.

Terutama sekali pendidikan, Kartini menekankan pentingnya bangsa Bumiputra terdidik. Meksipun masih dalam konteks di bawah payung Kerajaan Belanda, Kartini secara implisit meminta agar pemerintah kolonial mendukung gerakan pemuda Bumiputra di Hindia Belanda, dalam hal ini de Indische Vereeniging yang menerbitkan majalah Bintang Hindia. Mengenai pendidikan bagi Bumiputra, Kartini mengingatkan bila para pamong praja terdidik maka ia akan mendidik pula bawahannya.

Tampak bahwa Kartini menyadari tak mungkin untuk mendidik 27 juta orang sekaligus. Khususnya pendidikan bahasa Belanda, tidaklah untuk menghilangkan budaya dan bahasa lokal Jawa yang halus dan tinggi. Nota Kartini menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan bahwa perempuan generasi tua saat ini pun mendukungnya. Dalam suratnya yang kepad Ny Abendanon Kartini menyatakan bahwa pengajaran bagi perempuan akan menjadi rahmat dan bermanfaat bagi masyarakat Bumiputra pada umumnya.

Pada konteks politik Indonesia saat ini dan dimana pun juga, tingkat pendidikan perempuan memang bisa menjadi jembatan utama kemajuan. Perempuan berpendidikan akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik. Boleh saja dinyatakan bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan belum lepas dari peran gender perempuan sebagai ibu, tentu saja ini bisa dimaklumi mengingat konteks hidup Kartini pada masa itu: menjadi perempuan adalah berarti kawin dan menjadi ibu. Bahwa pendidikan akan memberi arti lebih perempuan sebagai ibu, itulah yang tidak banyak orang pikirkan.

Kartini berbekal pengetahuan, statusnya sebagai anak Bupati, membawanya terlibat dalam politik. Ia membantu ayahnya menulis laporan untuk De Locomotief, mengirimkan Nota jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh penasehat hukum Kementerian Jajahan, dan menulis surat permohonan beasiswa kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Nota Kartini hingga kini tersimpan sebagai Nota Politik Pemerintah Kolonial Belanda.

Pendidikan juga memberi peluang bagi perempuan untuk memilih profesi, ini dinyatakan Kartini: “Roekmini akan belajar seni rupa…untuk menghidupkan lagi seni Hindia,… menuju kemakmuran rakyat. Si Kecil (Kardinah); sekolah rumah tangga, agar dapat mengajarkan calon ibu serta ibu harga uang dan sifat hemat…saya akan belajar bidang pengajaran agara mengajar calon ibu di samping ilmu pengetahuan juga pengertian kasih dan keadilan…” (Kpd.Ovink Soer, 1900).
****
Lebih dari seabad, Kartini telah menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Kini apakah kita masih bisa menangkap anjuran dan mempraktekannya?. Pendidikan yang dimaksud Kartini bukanlah pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan budi pekerti.

Sedang faktanya juga pemimpin negara perempuan adalah mereka yang telah memperoleh pendidikan yang baik. Mary Robinson, yang pernah menjadi Presiden Irlandia adalah pengacara, Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia adalah seorang dokter. Bagaimana dengan anda, perempuan-perempuan muda Indonesia?

M A L L

oleh : een

Sore itu, saya duduk minum kopi di salah satu kafe di Mall yang baru dibuka beberapa bulan lalu itu, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa megakilowatt listrik dikerahkan untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu.

Mungkin saya seperti halnya anda juga tahu, di Mall, sore itu akan cepat berubah malam, sebagaimana juga dunia berubah. Ruangan yang luas dengan pengatur udara yang sejuk. Cahaya listrik yang tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.

Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, teman saya yang study di Tokyo. Dia bercerita tentang mesin jajanan yang menawarkan Coca Cola dan keripik kentang di sepanjang tepi jalan yang meriah di Ginza. "Tahukah Kamu," tanyanya waktu itu, "jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis itu di seluruh Jepang? "Saya menggeleng, dan ia menjawab, "Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh."

Kemudian teman saya berbicara tentang ketimpangan. Tentu Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Semarang, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten jauh di pedalaman Flores.

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang ratarata menghabisi 11,4 kW. "Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," tiba-tiba teman saya menyeletuk, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negeri dimana ia menuntut ilmu dan kembali ke Indonesia. Saya dengar ia hidup di sebuah dusun kecil di pulau terpencil di salah satu sudut Indonesia, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan akhir Desember 2009 itu: dalam catatan tahun 2008, emisi karbon dioksida dari Cina mencapai 6,810 miliar ton atau 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Bangladesh hanya 0,052 miliar ton atau 0,1%, namun cairnya gletser (es dan salju) di Gunung Everest yang terjadi baru-baru ini sehingga membentuk sebuah danau glasial yang besar ini sungguh mengkhawatirkan, pasalnya sungai-sungai yang bergantung pada Gunung Everest akan mengalami kekeringan. Dan mungkin akan membuat negeri di Delta Gangga Brahmaputra tak subur lagi dan tak berdampak apapun bagi Cina.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi CO2 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita? "Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman saya itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. "Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsurangsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak.

Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia. Mungkin orang harus hidup seperti di surga.

Konon, di surga segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.

Tapi akankah saya mau, seperti teman saya itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang sufi? Di mall itu, saya melihat ke sekitar.
”Terlalu sulit, terlalu sulit,” pikir saya.

Senin, 20 September 2010

N i e t z s c h e


Oleh : shena

Filsuf modern, yang dikenal sebagai pemberontak terhadap kemapanan, dan dogmatisme itu, bernama Friedrich Nietzsche. Ia lahir di Rocken, 15 oktober 1844. Dialah orang pertama yang berani terang-terangan menyatakan “Tuhan telah mati! Kita telah membunuhnya”.
Ungkapan itu yang dipakai Nietzsche untuk mengawali perang melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang sudah mulai pudar. Jaminan kepastian pertama adalah Tuhan. Jaminan kepastian lainnya adalah model-model Tuhan, seperti ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, dan kemajuan (progress). Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu, Nietzsche cukup mengatakan “Tuhan telah mati”.
Tentu, bukan tanpa alasan, ketika Nietzsche menyerukan nihilisme sebagai kebijakan utama, menggantikan nilai-nilai moralitas yang menurutnya telah usang. Kebudayaan Eropa, sebagaimana disaksikan oleh Nietzsche yang hidup pada akhir abad lalu, seperti aliran sungai yang menggeliat kuat saat mendekati bibir samudra. Metafora itu ditujukan pada orang-orang Eropa yang tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri. Atau lebih tepatnya takut merenung.
****
Itulah kisah, bagaimana Nietzsche harus memaklumkan kematian Tuhan kepada khalayak orang-orang yang masih menggenggam keyakinan mereka akan Tuhan. Sepintas, gagasan Nietzsche tentang pudarnya Tuhan, mirip dengan pemikiran August Comte (1798 -1857).
Bagi kita, Tentu pernyataan Nietzsche sangat men-jengkel-kan. Jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja, kita anggap perbuatan jahat. Tapi Nietzsche memang jengkel pada sesuatu disebut Tuhan. Tuhan baginya hanya ada dalam pikiran.
Untuk itulah, Nietzsche dianggap Atheis. Tapi tunggu dulu, andai Tuhan dalam anggapan Nietzsche, tidak ada wujud diluar sana, lalu Tuhan mana yang ia bunuh?. Memang, ia sudah lama gerah dengan agama, sebagaimana dikisahkan di atas. Katanya, “siapapun beragama, pasti tidak bebas”. Agama, baginya dianggap mengebiri kebebasan.
Membunuh Tuhan ala Nietzsche, mungkin dimaknai sebagai perbuatan jahat manusia, karena sesungguhnya Nietzsche sangat religius. Bahkan dalam sebuah riwayat, menyebutkan, diakhir hidupnya, ia terus menyebut-nyebut Tuhan dan merindukannya.
Dugaan saya, orang yang berbuat jahat, bagi Nietzsche, sama dengan menganggap “Tuhan tidak ada” yang berarti “Tuhan telah mati”. Dan manusia telah membunuhnya (karena manusia telah melakukan kejahatan).
Benar dan tidaknya, sekali lagi hanya sekedar dugaan. Yang pasti, bagi Nietzsche “Membunuh Tuhan”, merupakan ajakannya untuk mempertanyakan ulang, apa yang tabu, bahkan haram, untuk disentuh. Ia membalikkan keyakinan orang pada Agama untuk melawan arus pada zamannya.
Oleh karenanya, tak salah jika sosok Nietzsche dikenal sebagai orang yang tak kenal lelah untuk mencari kebenaran. Tanpa pernah putus asa, terus dan terus berpikir. “Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah!” katanya. Seolah ia ingin mengajak semua orang untuk tak berhenti pada satu keyakinan.
****
Andai saja, Nietzsche masih hidup, dan melihat kondisi negara ini, mungkin saja ia akan tertegun lama. Untuk merenung, mencari jawaban yang pas. Kalau bisa dalam suasana khalwat tanpa batas. Tapi sayang, sekitar tahun 1900, Nietzsche telah lama mati.
Namun, melihat kondisi seperti saat ini, sepertinya, tak perlu menghidupkan kembali Nietzsche, dan mendatangkannya ke sini, untuk menilai macam apa kejahatan yang telah terjadi. Karena saya yakin, anda lebih tahu darinya.

Minggu, 19 September 2010

Seorang Bapak dan Anak di Sebuah Taman Kota


Oleh : shena khamim


Udara sore itu semilir, seorang bapak dan anak duduk di bangku panjang taman kota. Mentari di ujung barat sebentar lagi tenggelam, menyisakan warna jingga kemerahan. Lampu-lampu kota pun mulai dinyalakan.
“Mengapa ayah mengajakku kemari?” Tanya seorang anak
“di sini, kamu akan belajar ilmu kehidupan nak…” jawab seorang bapak
“Ilmu kehidupan seperti apa ayah?, yang aku lihat hanya bangku-bangku panjang yang hampir lapuk, lampu-lampu kota yang redup, atau tanaman-tanaman yang tak berbunga. Ilmu kehidupan yang bagaimana?”.

Begini anakku, kehidupan itu memerlukan proses. Dan proses itu mesti dilalui, jika engkau ingin “menjadi”. Lihatlah tanaman-tanaman itu, siapa bilang ia tak bisa berbunga. Ia hanya sedang menanti saat musim semi tiba. Saat rintik hujan membahasi daunnya, saat itulah nanti bunga-bunga akan menguncup kemudian bermekaran.
Atau lihatlah ulat-ulat itu, bentuknya menjijikan. Tapi ia tak putus asa, ia hanya menunggu waktu untuk berproses “menjadi”, dan perjalanan hidupnya penuh ajaib. Kau tahu anakku? Hanya berasal dari ulat yang berjuang keras mencari rizki dengan segala keterbatasan. Ulat itu tak dapat berlari cepat, juga tak bisa terbang. Tapi dalam kefanaan dunia, ia hidup dalam kegigihan dan berusaha untuk tetap survive. Berbagai aral dan rintangan mengampirinya.
Anakku, suatu saat kau akan lihat, bagaimana ulat itu akan menjadi kupu-kupu indah beraneka ragam warna. Karena ia berani untuk “menjadi”. Kemuliaannya diperas dari buah kesedihan serta air mata kehidupan. Buah tangan dari perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan. Itulah hewan yang diutus Tuhan untuk mengajarkan hikmah pada kita.
Sore pun telah disulap menjadi malam, seorang bapak menggandeng anaknya meninggalkan taman kota. Menyusuri trotoar jalan, menuju arah pulang, sebentar lagi sayup adzan berdendang.
****


Suatu sore, di taman kota, seorang Bapak dan anak kembali duduk di bangku panjang itu. menatap pemandangan jalan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
“kapan ayah tak lagi mengajakku ke taman ini?”
“setelah kau mendapatkan ilmu kehidupan itu, anakku”
Tetapi aku bosan dengan suasana taman yang tiap sore tak berubah. Aku bosan dengan bangku panjang yang tiap sore kita duduki. Aku bosan dengan tanaman-tanaman yang tak berbunga itu, trus ulat-ulat menjijikan itu, aku bosan.
Anakku, ini pelajaran bagi kita, bagaimana bersabar, bagaimana menahan hawa nafsu. Tak hanya itu, kita juga dituntut berbagi dengan yang lain. Sebagaimana kupu-kupu itu berbagi rizki dengan bunga-bunga kehidupan. Dan proses ini mesti dijalani, supaya kau mendapat kemuliaan Tuhan.
Anakku, seperti yang pernah aku bilang. Proses “menjadi” itu, bukan waktu yang singkat. Kau mesti sabar. Kelak kau akan mengerti, buah kesabaran itu akan manis rasanya. Dan sebentar lagi proses itu akan dimulai, dan kau tak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu, anakku.
“Apa maksud ayah?”
Satu hari lagi, bulan Ramadhan datang, kita harus menyambutnya dengan riang, sebagaimana burung-burung itu terbang, dan bersuka-cita. Ramadhan menjadi momentum penting, yang tak boleh terlewatkan begitu saja. Proses “menjadi” dilewati dengan “tirakat”. Tirakat menahan lapar, dahaga, juga hawa nafsu.
Dan sore itu, menjadi sore terakhir di penghujung bulan, seorang bapak dan anak untuk mengunjungi taman kota itu. Senja kian temaram, dan dibalik kegelapan suasana taman kota itu, diam-diam mengetuk pintu hati seoarang anak, akan pelajaran kehidupan yang lebih bermakna.
Dengan lembut, penuh kasih sayang, seorang bapak pun membelai kepala anaknya, sambil meresapi carkawala nan indah di taman kota. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman. Senyuman manis untuk kehidupan.

Di ujung barat, samar-samar bulan sabit muda mulai nampak, sebagai tanda pergantian bulan yang dipercaya oleh orang islam. Seorang bapak dan anak meninggalkan taman kota dengan langkah ringan, melewati senja yang telah menjadi malam.
*****


Suatu sore, Seorang bapak dan anak kembali mengunjungi taman kota, setelah sebulan penuh, meninggalkan rutinitasnya.
“Ayah, lihatlah, sebulan lalu, bunga-bunga itu belum ada, dan sekarang, ia telah bermekaran”.
“lihatlah, ulat-ulat itu tak lagi menggerogoti batang tanaman itu”
“hei....sekarang ada kupu-kupu cantik, beraneka warna, mengitari bunga-bunga itu”
“sungguh indah taman kota sore ini, ayah....!”
Anakku, itulah hikmah dari pelajaran kehidupan itu. Mereka telah melalui proses dan sekarang mereka telah “menjadi”. Seperti halnya manusia, yang telah sebulan penuh “tirakat” menahan lapar, dahaga, hawa nafsu dan berbagi rizki di penghujung bulan, mengeluarkan zakat untuk yang membutuhkan.
Andaikata proses yang telah dilaluinya belum “menjadi”, alangkah sia-sia manusia itu, karena tak lebih beruntung dari seekor ulat yang telah menjadi kupu-kupu itu.


Akhir Ramadhan, 1431 H

EVALUASI KUALITAS SEKOLAH RSBI

Mengatasi era global, pemerintah memiliki kebijakan untuk mengembangkan kualitas pendidikan untuk hasil sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Pelayanan pendidikan diatur pendirian sekolah Standar Internasional di SD dan tingkat tinggi. Sekolah-sekolah yang bertujuan untuk memberikan para siswa untuk dapat bersaing dengan siswa negara-negara maju ', bukan hanya komunikasi tetapi juga pengetahuan dan ilmu. Hal ini biasa bagi kita sebagai RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) di mana setiap kabupaten harus memiliki salah satu sekolah tersebut.
Sejak tahun 2003, banyak sekolah internasional menjamur di Indonesia. Ini mengemudi pemerintah Indonesia mengesahkan peraturan sistem pendidikan nasional tentang pendirian sekolah standar internasional di setiap kabupaten.
sekolah bertaraf internasional adalah satuan pendidikan diterapkan dengan Standar Nasional pendidikan dan diperkuat dengan standar satu Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) negara. Standar nasional pendidikan adalah standar minimal yang harus dimiliki oleh unit pendidikan, termasuk: kompetensi output, substansi, proses, evaluasi, guru dan pendidik, fasilitas, manajemen, dan pendanaan. Pengayaan dengan negara berkembang termasuk memperkuat, mengembangkan, memperluas, dan menekankan pengembangan kualitas pendidikan berdasarkan standar mutu pendidikan internasional.
Dalam peraturan nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 50 ayat 3, mengatakan bahwa baik pemerintah nasional atau kabupaten pemerintah harus membentuk setidaknya satu unit pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan ke unit pendidikan standar internasional. Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, yang dijelaskan dalam buku pegangan jaminan mutu standar internasional sekolah dasar dan menengah. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas), nomor 78,, 2009 tentang Pembentukan Standar Internasional Sekolah di SD dan Tingkat Tinggi dan Surat General Manager of Management pada 0015/C3/KP/2010 No Departemen Pendidikan pada l Januari 6, 2010, tentang informasi perekrutan siswa sekolah International Standar terbuka.
Pembentukan sekolah Internasional dengan standar tinggi adalah salah satu upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan. Sekolah ini juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia tidak hanya siswa tapi juga semua orang. Sekolah ini dikenal dengan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang menggabungkan dan menerapkan kurikulum nasional dan internasional untuk menghasilkan output bersertifikat internasional. Artikel ini akan mencerminkan pencapaian sekolah RSBI yang didirikan pada tahun 2003 di mana setiap tahun, pemerintah mengevaluasi pencapaian. Pengamatan telah dilakukan untuk membuktikan kondisi riil sekolah.
Program SBI masih kontroversial untuk beberapa ahli pendidikan. Mereka menganggap bahwa SBI hanya membuang-buang anggaran Departemen Pendidikan Nasional. Mari mengatakan pendapat yang disampaikan oleh Darmaningtyas bahwa program ini adalah proyek pemerintah tidak efektif. Meskipun merupakan proyek prestisius, tapi menghabiskan anggaran besar. Dia menganggap bahwa pemerintah lebih baik untuk mendistribusikan secara merata pendidikan yang berkualitas. Untuk beberapa sekolah kualifikasi sudah tinggi, pemerintah hanya perlu terus mendukung mereka tanpa menambahkan label yang tidak perlu "Sekolah Standar Internasional" (Kompas, 2008).

Beberapa Fakta Tentang 'Sekolah RSBI' Di Indonesia
Pelaksanaan peraturan pemerintah tentang pendirian sekolah RSBI belum sepenuhnya berhasil. Bahkan, beberapa sekolah RSBI di Kabupaten beberapa siswa gagal lulus 100% Ujian Nasional pada tahun 2010 sedangkan sekolah-sekolah tersebut harus benar-benar menjadi model sekolah lain. Selain itu, banyak orangtua mengeluh tentang tingginya biaya belajar di sekolah RSBI yang tidak relevan dengan peningkatan kualitas. Jadi, keberadaan sekolah RSBI tampaknya dipaksa diterapkan.
Evaluasi tahunan dilakukan oleh kementerian pendidikan menunjukkan bahwa ada 12 sekolah termasuk berlabel RSBI SMP, SMA dan sekolah kejuruan di Kabupaten beberapa harus berbalik kembali ke status dari RSBI akan SSN (Sekolah Standar Nasional) pada tahun 2010. Sekolah-sekolah bisa mengambil kembali program RSBI dari dimulai. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Mr Suyanto 12 sekolah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai sekolah RSBI di evaluasi. Mereka tidak menunjukkan prestasi yang harus dicapai terkait dengan standar kualitas jaminan yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Beberapa poin yang dievaluasi di sekolah RSBI adalah kepemimpinan kepala sekolah, proses pembelajaran, dua bahasa yang digunakan dalam proses belajar mengajar, dll Hasil evaluasi menunjukkan bahwa alasan utama dari sekolah gagal adalah pada prinsip kepemimpinan. Beberapa kepala sekolah RSBI di beberapa kabupaten yang terkait dengan kontrak politik di daerah itu. Beberapa dari mereka yang dipilih sebagai pelaku karena mereka telah berhasil tim dalam pemilihan Bupati. Mereka ditempatkan untuk mengubah kepala sekolah sebelumnya. Selain itu, beberapa sekolah yang ditemukan tidak menggunakan bilingual dalam proses belajar mengajar di mana bahasa Inggris dianjurkan untuk digunakan sebagai bahasa standar internasional. Masalah penggunaan bahasa adalah pada guru dan kompetensi mahasiswa dalam penguasaan bahasa Inggris. Selain itu, beberapa sekolah RSBI belum menyelesaikan fasilitas dengan Informasi dan Teknologi (TI) yang sangat penting untuk memudahkan mahasiswa mencari dan pencarian materi dan untuk memudahkan sistem akademik di sekolah, seperti pendaftaran, dan informasi dapat berbagi on line.
sekolah RSBI harus memiliki jaringan dengan sekolah RSBI lain baik di Indonesia maupun di luar negeri sebagai tanda cabang. Sekolah-sekolah juga dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi dan universitas untuk mentransfer keluar menaruh. Sekolah-sekolah juga harus mengembangkan program sertifikasi dan meningkatkan daya saing dalam kompetisi tersebut. Mereka harus memiliki sertifikasi ISO 9001 versi 2000 atau sebelum dan ISO 14000.
Banyak sekolah RSBI menjamur saat ini memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat. Positif adalah mahasiswa Indonesia diharapkan memiliki kompetensi yang sama dengan siswa negara-negara maju '. Negatif berkaitan dengan masyarakat tingkat rendah. Hal ini sangat sulit bagi mereka untuk belajar di sekolah karena biaya tinggi. Jadi, lebih banyak RSBI biaya pendidikan sekolah berarti biaya lebih mahal. Hal ini perlu dipertimbangkan bahwa sebenarnya sebelum pemerintah mendirikan sekolah RSBI, para guru berkualitas harus disediakan dulu. Bahkan, banyak guru tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi sebuah sekolah internasional. Jadi, pertama pemerintah harus membantu untuk mengembangkan kualitas guru dengan memberikan pendidikan standar universitas internasional.
Selain itu, pengembangan RSBI menjadi SBI harus dilakukan dengan memberikan materi, sistem pembelajaran dan bagaimana berkomunikasi dengan standar internasional. Hal ini berbeda dengan sekolah biasa. Namun, perkembangan ini diikuti oleh biaya tinggi yang harus dibayar oleh orangtua siswa. Fasilitas diselesaikan di sekolah-sekolah standar internasional menyiratkan ke kemahalan biaya pendidikan, sedangkan pengembangan sekolah RSBI tidak harus mahal.