Kamis, 23 September 2010

M A L L

oleh : een

Sore itu, saya duduk minum kopi di salah satu kafe di Mall yang baru dibuka beberapa bulan lalu itu, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa megakilowatt listrik dikerahkan untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu.

Mungkin saya seperti halnya anda juga tahu, di Mall, sore itu akan cepat berubah malam, sebagaimana juga dunia berubah. Ruangan yang luas dengan pengatur udara yang sejuk. Cahaya listrik yang tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.

Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, teman saya yang study di Tokyo. Dia bercerita tentang mesin jajanan yang menawarkan Coca Cola dan keripik kentang di sepanjang tepi jalan yang meriah di Ginza. "Tahukah Kamu," tanyanya waktu itu, "jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis itu di seluruh Jepang? "Saya menggeleng, dan ia menjawab, "Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh."

Kemudian teman saya berbicara tentang ketimpangan. Tentu Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Semarang, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten jauh di pedalaman Flores.

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang ratarata menghabisi 11,4 kW. "Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," tiba-tiba teman saya menyeletuk, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negeri dimana ia menuntut ilmu dan kembali ke Indonesia. Saya dengar ia hidup di sebuah dusun kecil di pulau terpencil di salah satu sudut Indonesia, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan akhir Desember 2009 itu: dalam catatan tahun 2008, emisi karbon dioksida dari Cina mencapai 6,810 miliar ton atau 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Bangladesh hanya 0,052 miliar ton atau 0,1%, namun cairnya gletser (es dan salju) di Gunung Everest yang terjadi baru-baru ini sehingga membentuk sebuah danau glasial yang besar ini sungguh mengkhawatirkan, pasalnya sungai-sungai yang bergantung pada Gunung Everest akan mengalami kekeringan. Dan mungkin akan membuat negeri di Delta Gangga Brahmaputra tak subur lagi dan tak berdampak apapun bagi Cina.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi CO2 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita? "Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman saya itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. "Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsurangsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak.

Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia. Mungkin orang harus hidup seperti di surga.

Konon, di surga segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.

Tapi akankah saya mau, seperti teman saya itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang sufi? Di mall itu, saya melihat ke sekitar.
”Terlalu sulit, terlalu sulit,” pikir saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar