Kamis, 23 September 2010

Sepenggal Kisah dari Kartini


Di suatu waktu, ketika jam istirahat, di bawah pohon-pohon baru yang sedang berkembang kuning di pelataran sekolah itu, menggerombol tak teratur beberapa gadis di atas permadani rumput hijau yang empuk tebal. Begitu panasnya waktu, tak seorangpun berniat hendak bermain-main.

“Ayo, lesty, berceritalah atau membacalah buat kami”, rayu seorang gadis, seorang anak peribumi, yang tak lain adalah kartini. Seorang gadis putih yang besar, yang sedang bersandar pada batang pohon, serta membaca buku dengan rajinnya mengangkat pandang dan menjawab. “Ah tidak, aku harus meneruskan pelajaran bahasa Prancis”.

“Kan bisa kau lakukan juga di rumah, itu bukan pekerjaan sekolah?”. “Ya, tapi kalau aku tak rajin, aku tak bias menguasai bahasa prancis dengan baik, dua tahun lagi aku akan pergi ke Holland, dan aku sudah begitu ingin meneruskan sekolah guru di sana. Tapi coba katakan padaku kartini, kau mau jadi apa kelak?”
Sepasang mata yang besar menatap pembicaraan itu dengan heran. “Ayolah katakan?”.
“Aku tidak tahu” jawab kartini. Ya, memang ia tak tahu, tak pernah ia memikirkan itu sebelumnya, ia masih sangat muda dan tiada mempedulikan sesuatu pun.

Namun diam-diam, pertanyaan kawannya itu meninggalkan kesan yang dalam padanya. “Kau mau jadi apa kelak”? Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hari itu, menjadi sepenggal kisah pengalamannya, yang kelak ternyata menjadi kunci dari perjuangannya yang tak kenal menyerah. Perjuangan pendidikan untuk kaumnya.
*****
Perjuangan Kartini memang sangatlah mulia, ia menginginkan agar perempuan Indonesia bangkit mendobrak tradisi, muncul ke orbit sehingga dapat berprestasi setinggi-tingginya, membuat kesetaraan gender terutama di bidang pendidikan.

Pendidikan, memang salah satu yang menjadi kepedulian utama Kartini untuk memajukan perempuan dan bangsa bumiputra umumnya. Adalah Kartini, yang mengirimkan Nota kepada Pemerintah Kolonial, yang dikirimkan kepada penasehat hukum Kementerian Jajahan, Slingenberg tahun 1903. Bertepatan dengan masih berlangsungnya Politik Etis pemeritah Kolonial Belanda. Nota Kartini berjudul Berilah Pendidikan kepada Bangsa Jawa, memuat berbagai hal termasuk kritik terhadap kebijakan, prilaku pejabat dan pemerintah kolonial dalam bidang kesehatan, budaya, dan pendidikan.

Terutama sekali pendidikan, Kartini menekankan pentingnya bangsa Bumiputra terdidik. Meksipun masih dalam konteks di bawah payung Kerajaan Belanda, Kartini secara implisit meminta agar pemerintah kolonial mendukung gerakan pemuda Bumiputra di Hindia Belanda, dalam hal ini de Indische Vereeniging yang menerbitkan majalah Bintang Hindia. Mengenai pendidikan bagi Bumiputra, Kartini mengingatkan bila para pamong praja terdidik maka ia akan mendidik pula bawahannya.

Tampak bahwa Kartini menyadari tak mungkin untuk mendidik 27 juta orang sekaligus. Khususnya pendidikan bahasa Belanda, tidaklah untuk menghilangkan budaya dan bahasa lokal Jawa yang halus dan tinggi. Nota Kartini menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan bahwa perempuan generasi tua saat ini pun mendukungnya. Dalam suratnya yang kepad Ny Abendanon Kartini menyatakan bahwa pengajaran bagi perempuan akan menjadi rahmat dan bermanfaat bagi masyarakat Bumiputra pada umumnya.

Pada konteks politik Indonesia saat ini dan dimana pun juga, tingkat pendidikan perempuan memang bisa menjadi jembatan utama kemajuan. Perempuan berpendidikan akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik. Boleh saja dinyatakan bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan belum lepas dari peran gender perempuan sebagai ibu, tentu saja ini bisa dimaklumi mengingat konteks hidup Kartini pada masa itu: menjadi perempuan adalah berarti kawin dan menjadi ibu. Bahwa pendidikan akan memberi arti lebih perempuan sebagai ibu, itulah yang tidak banyak orang pikirkan.

Kartini berbekal pengetahuan, statusnya sebagai anak Bupati, membawanya terlibat dalam politik. Ia membantu ayahnya menulis laporan untuk De Locomotief, mengirimkan Nota jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh penasehat hukum Kementerian Jajahan, dan menulis surat permohonan beasiswa kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Nota Kartini hingga kini tersimpan sebagai Nota Politik Pemerintah Kolonial Belanda.

Pendidikan juga memberi peluang bagi perempuan untuk memilih profesi, ini dinyatakan Kartini: “Roekmini akan belajar seni rupa…untuk menghidupkan lagi seni Hindia,… menuju kemakmuran rakyat. Si Kecil (Kardinah); sekolah rumah tangga, agar dapat mengajarkan calon ibu serta ibu harga uang dan sifat hemat…saya akan belajar bidang pengajaran agara mengajar calon ibu di samping ilmu pengetahuan juga pengertian kasih dan keadilan…” (Kpd.Ovink Soer, 1900).
****
Lebih dari seabad, Kartini telah menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Kini apakah kita masih bisa menangkap anjuran dan mempraktekannya?. Pendidikan yang dimaksud Kartini bukanlah pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan budi pekerti.

Sedang faktanya juga pemimpin negara perempuan adalah mereka yang telah memperoleh pendidikan yang baik. Mary Robinson, yang pernah menjadi Presiden Irlandia adalah pengacara, Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia adalah seorang dokter. Bagaimana dengan anda, perempuan-perempuan muda Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar