Minggu, 19 September 2010

Seorang Bapak dan Anak di Sebuah Taman Kota


Oleh : shena khamim


Udara sore itu semilir, seorang bapak dan anak duduk di bangku panjang taman kota. Mentari di ujung barat sebentar lagi tenggelam, menyisakan warna jingga kemerahan. Lampu-lampu kota pun mulai dinyalakan.
“Mengapa ayah mengajakku kemari?” Tanya seorang anak
“di sini, kamu akan belajar ilmu kehidupan nak…” jawab seorang bapak
“Ilmu kehidupan seperti apa ayah?, yang aku lihat hanya bangku-bangku panjang yang hampir lapuk, lampu-lampu kota yang redup, atau tanaman-tanaman yang tak berbunga. Ilmu kehidupan yang bagaimana?”.

Begini anakku, kehidupan itu memerlukan proses. Dan proses itu mesti dilalui, jika engkau ingin “menjadi”. Lihatlah tanaman-tanaman itu, siapa bilang ia tak bisa berbunga. Ia hanya sedang menanti saat musim semi tiba. Saat rintik hujan membahasi daunnya, saat itulah nanti bunga-bunga akan menguncup kemudian bermekaran.
Atau lihatlah ulat-ulat itu, bentuknya menjijikan. Tapi ia tak putus asa, ia hanya menunggu waktu untuk berproses “menjadi”, dan perjalanan hidupnya penuh ajaib. Kau tahu anakku? Hanya berasal dari ulat yang berjuang keras mencari rizki dengan segala keterbatasan. Ulat itu tak dapat berlari cepat, juga tak bisa terbang. Tapi dalam kefanaan dunia, ia hidup dalam kegigihan dan berusaha untuk tetap survive. Berbagai aral dan rintangan mengampirinya.
Anakku, suatu saat kau akan lihat, bagaimana ulat itu akan menjadi kupu-kupu indah beraneka ragam warna. Karena ia berani untuk “menjadi”. Kemuliaannya diperas dari buah kesedihan serta air mata kehidupan. Buah tangan dari perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan. Itulah hewan yang diutus Tuhan untuk mengajarkan hikmah pada kita.
Sore pun telah disulap menjadi malam, seorang bapak menggandeng anaknya meninggalkan taman kota. Menyusuri trotoar jalan, menuju arah pulang, sebentar lagi sayup adzan berdendang.
****


Suatu sore, di taman kota, seorang Bapak dan anak kembali duduk di bangku panjang itu. menatap pemandangan jalan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
“kapan ayah tak lagi mengajakku ke taman ini?”
“setelah kau mendapatkan ilmu kehidupan itu, anakku”
Tetapi aku bosan dengan suasana taman yang tiap sore tak berubah. Aku bosan dengan bangku panjang yang tiap sore kita duduki. Aku bosan dengan tanaman-tanaman yang tak berbunga itu, trus ulat-ulat menjijikan itu, aku bosan.
Anakku, ini pelajaran bagi kita, bagaimana bersabar, bagaimana menahan hawa nafsu. Tak hanya itu, kita juga dituntut berbagi dengan yang lain. Sebagaimana kupu-kupu itu berbagi rizki dengan bunga-bunga kehidupan. Dan proses ini mesti dijalani, supaya kau mendapat kemuliaan Tuhan.
Anakku, seperti yang pernah aku bilang. Proses “menjadi” itu, bukan waktu yang singkat. Kau mesti sabar. Kelak kau akan mengerti, buah kesabaran itu akan manis rasanya. Dan sebentar lagi proses itu akan dimulai, dan kau tak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu, anakku.
“Apa maksud ayah?”
Satu hari lagi, bulan Ramadhan datang, kita harus menyambutnya dengan riang, sebagaimana burung-burung itu terbang, dan bersuka-cita. Ramadhan menjadi momentum penting, yang tak boleh terlewatkan begitu saja. Proses “menjadi” dilewati dengan “tirakat”. Tirakat menahan lapar, dahaga, juga hawa nafsu.
Dan sore itu, menjadi sore terakhir di penghujung bulan, seorang bapak dan anak untuk mengunjungi taman kota itu. Senja kian temaram, dan dibalik kegelapan suasana taman kota itu, diam-diam mengetuk pintu hati seoarang anak, akan pelajaran kehidupan yang lebih bermakna.
Dengan lembut, penuh kasih sayang, seorang bapak pun membelai kepala anaknya, sambil meresapi carkawala nan indah di taman kota. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman. Senyuman manis untuk kehidupan.

Di ujung barat, samar-samar bulan sabit muda mulai nampak, sebagai tanda pergantian bulan yang dipercaya oleh orang islam. Seorang bapak dan anak meninggalkan taman kota dengan langkah ringan, melewati senja yang telah menjadi malam.
*****


Suatu sore, Seorang bapak dan anak kembali mengunjungi taman kota, setelah sebulan penuh, meninggalkan rutinitasnya.
“Ayah, lihatlah, sebulan lalu, bunga-bunga itu belum ada, dan sekarang, ia telah bermekaran”.
“lihatlah, ulat-ulat itu tak lagi menggerogoti batang tanaman itu”
“hei....sekarang ada kupu-kupu cantik, beraneka warna, mengitari bunga-bunga itu”
“sungguh indah taman kota sore ini, ayah....!”
Anakku, itulah hikmah dari pelajaran kehidupan itu. Mereka telah melalui proses dan sekarang mereka telah “menjadi”. Seperti halnya manusia, yang telah sebulan penuh “tirakat” menahan lapar, dahaga, hawa nafsu dan berbagi rizki di penghujung bulan, mengeluarkan zakat untuk yang membutuhkan.
Andaikata proses yang telah dilaluinya belum “menjadi”, alangkah sia-sia manusia itu, karena tak lebih beruntung dari seekor ulat yang telah menjadi kupu-kupu itu.


Akhir Ramadhan, 1431 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar