Kamis, 23 September 2010

MENGGUGAT APOLOGISME AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH

Di era globalisasi ini, masyarakat kita dihadapkan pada serangkaian tantangan Pluralisme agama, konflik intern dan menajamnya wawasan pemikiran keagamaan meminta jawaban semua pihak, tidak terkecuali kalangan generasi muda NU.

Ahlussunnah wal jama’ah (selanjutnya disingkat ASWAJA), sebagaimana kita ketahui lebih berhubungan dengan doktrin ketimbang dilihat dari sisi keilmuan dan epistemologi. Akhirnya yang terjadi adalah “apologisme pemikiran” terhadap sebagian besar umat bahwa aswaja merupakan madzab yang harus diikuti dan dibela. Lebih tragis lagi, Aswaja ternyata sudah diakui secara legal melalui hadist Nabi SAW sebagai “kelompok atau golongan yang dijamin masuk sorga”.

Dalam locus ini, sesuai watak dan karakter IPNU-IPPNU yang fokus terhadap misi leilmuan, sangat menarik membicarakan Aswaja tidak saja sebagai doktrin semata, amun perlu dikembangkan para tataran dan bidikan perombakan pemikiran yang selama ini dirasa masih belum banyak dilakukan.

Menggugat apologisme Aswaja mengandaikan adanya gerakan pemikiran (harakah fikriyah) yang mengacu pada studi kritis mengenai keabsahan konsep dan pemahaman keagamaan aswaja yang bersifat inklusif. Sehingga “kejumudan” pemikiran dapat beranjak menjadi “pencerahan” dalam rangka menghadapi tantangan zaman dan maraknya perbedaan diantara kita. Menggugat apologisme tidak menafikan prototype awal yang memang menjadi pijakan selama ini.

Aswaja sebagai konsep sangat mungkin untuk dicerna ulang dan dikritisi dari sudut pandang keagamaan dan keilmuan. Karena sejak pertama digulirkan aswaja bersifat universal dan mungkin juga bersifat abadi. Dalam pandangan epistemologi keilmuan, segala sesuatu tidak lepas dari penemuan baru, keterbukaan dan demokratisasi, sangat wajar, manakala eksistensi aswaja pernah menjadi polemik berkepanjangan antara para pakar NU beberapa tahun lalu.

Persoalannya, mampukan kita mencoba menggugat keberadaan aswaja yang bersifat apologis di kalangan masyarakat NU itu. Padahal, tidak bisa dinafikan bahwa ia telah menjadi kepercayaan umat Islam secara keseluruhan.

Makna Aswaja
Kata “Aswaja” berasal dari sabda Nabi Muhammad SAW, “Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada dalan tangan-Nya, akan berpecah ematku menjadi 73 golongan (firqoh). Yang satu masuk sorga dan yang lain masuk neraka. “ siapakah golongan yang tidak masuk neraka itu ya Rasulallah? “sahabat bertanya. “ Ahlussunnah wal Jamaah,”jawab Rasulallah.”

Sedangkan dalam hadist lain, yang dimaksud ahlussunnah waljamaah adalah “ma ana ‘alayhi wa ash-haby” (orang yang berpegang pada I’tiqadku dan sahabat-sahabatku).
Sejauh pengertian yang diberikan kalangan NU, Aswaja adalah golongan pengikut yang setia pada Ahlussunnah Wal Jamaah. Yaitu ajaran Islam yang dibawa dan diamalkan Nabi SAW bersama para pengiktunya pada zaman itu (Chairul Anam, pertumbuhan dan perkembangan NU, 1999:145). Dalam pengertian yang lebih edukatif, aswaja adalah pengikut ajaran Islam yang berlandaskan: al Quran, al Hadist, dan Sunnah Khulafaurrasyidin (ibid).

Dalam telaah sejarah, Dr Thaha Hamim berpendapat bahwa paham Aswaja merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul zaman tertentu. Hal itu dilakukan agar “paham sunni” (baca: Aswaja- red) bisa selalu relevan dengan perkembangan baru yang muncul seiring dengan berubahnya waktu (Thaha Hamim, kontroversi aswaja, 2000:149-150).

Apologetik ( Pembelaan diri) Aswaja
Apologisme aswaja terletak pada kalaim “ suatu golongan masuk surga “. Perkataan ini seolah manafikan kelompok Islam yang lain. Artinya kepada mereka yang hanya meyakini Al-Qur’an sebgai dasar hukum dan mereka yang tidak mengakui kepemimpinan khulafarurasyidin akan masuk neraka.

Pendekatan apologetik ini cenderung normatif dan idialistik , dengan mengabaikan realitas sosial . walaupun pada sisi lain menguntungkan , karena apologisme pada dasarnya merupakan mekanisme pemebelaan diri ( defense mechanism ) terhadap ancaman , tantangan dan kritik dari luar yang sering sangat agresif.

Tantangan Aswaja
Doktrin sunni yang proses pembakuanya memakan waktu lama akhirnya dipertanyakan keabsahan oleh kelompok modernis. Hadis yang dijadikan dasar munculnya aswaja dipertanyakan meskipun tidak ditolak . Mereka menerima hadis dengan penuh reservasi . Misalnya Ahmad Khan dan Muhammmad Abduh, mereka hanya mau menggunakan hadis sebagai acuan hukum kandunganya selama tidak bertentangan dengan akal . Dalam sistem bermadzhab- yang menjadi bagian panutan- kaum NU menghadpi kritik tajam dari kalangan modernis . Mereka nmenganggap bahwa setiap amal ibadah harus didasarkan langsung pada ketentuan teks dan bukan pada pendapat fuqaha , karena ibadah yang menjadi haqq al syari’. Harus bersih dari unsur manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar