Kamis, 23 September 2010

s r i

oleh ; es.en.a

Nama panjangnya Sri Mulyani. Persis seperti nama mantan menteri keuangan negeri ini. Dia adalah sedikit orang yang membantah pernyataan punjangga asal Inggris, Shakespeare, “apalah arti sebuah nama”. Bagi Sri, begitu teman-temannya selalu memanggil, nama sangat berarti karena harus “cocok” dengan orang yang diserupainya, bahkan melebihinya.
Jika Ibu Sri Mulyani adalah mantan menteri keuangan di negeri ini, Sri juga mantan bendahara OSIS SMA favorit di kotanya. Jika Ibu Sri Mulyani otaknya encer, Sri pun selalu mendapat peringkat pertama. Jika Sri Mulyani mampu menembus di ranah internasional sebagai managing of Word Bank, sebagai siswa teladan di sekolah bertaraf Internasional, ia pernah mewakili Propinsi –nya untuk berkompetisi di tingkat Nasional pada bidang kompetensi akuntansi.
Kemiripan Sri dengan Ibu Sri Mulyani itu, membawanya sebagai “Sang Maestro”, Maestro disekolahnya. Seluruh penghuni sekolah mengenalnya, dari kepala sekolah, Guru, siswa, termasuk aku. Ya, aku mulai dekat dengannya semenjak sama-sama menjadi pengurus OSIS.
Sri juga siswi selalu yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan di sekolahnya. Maka, siapa saja siswa yang mau berbuat macam-macam dengan siswi, ia harus berhadapan dengan Sri. Pernah suatu hari, aku mesti berurusan dengannya. Gara-gara iseng menggoda salah satu temannya. Namun dibalik itu semua, Ia perempuan berjiwa lembut, baik hati, suka membantu siapa saja.
****

Suasana sekolah masih lengang, maklum jam baru menunjukkan pukul 06.15 waktu sekolah. Jadi belum ada siswa maupun siswi yang lalu-lalang di kelas. Tapi, eit...tunggu dulu. Dugaanku salah, di pojok kelas depan ruang perpustakaan, kulihat sesosok wajah yang tak asing lagi. Satu hal yang terlupa olehku, Sri selalu datang lebih pagi, meskipun bukan jadwal piketnya atau alasan lain.
“Tumben berangkat pagi? “ sapanya
“iya Sri, ada PR yang belum kukerjakan” jawabku sambil nyengir
“dasar pemalas....” selorohnya sambil pergi meninggalkanku
Begitulah Sri, selalu dan selalu mengataiku pemalas. Pernah suatu sore aku, sri, dan beberapa teman, belajar kelompok. Diantara kami yang punya otak lumayan memang sri, sedangkan aku, joni, wawan, irma, dan fendi boleh dibilang hanya cukupan.
“Sebenarnya di dunia ini tidak ada orang bodoh” bilangnya
“yang ada, Cuma orang malas” lanjutnya
Dalam hal memotivasi kami, Sri paling jitu. Aku dan yang lain dibuatnya mati kutu. Dan Sri, menjadi lentera yang menyilaukan mata, agar kami tak terpejam lagi. Belajar dan belajar, itu teriakkannya yang seolah memecahkan gendang telinga kami.
Satu lagi, motivasi yang kami dapatkan dari sri, bahwa belajar bukanlah ketersediaan waktu, melainkan pada ketundukan hati. Dan belajar bukan rangkaian aksi melainkan proses membuka diri, proses menerima.
Itu semangat yang kami dapat untuk menghadapi ujian kali ini. Oh ya, aku lupa menyebutkan, Sri, aku dan teman-teman adalah siswa dan siswi kelas tiga yang dua minggu lagi akan menempuh Ujian Nasional.
*****

Minggu sore, langit di kotaku begitu indah. Cahaya keemasan diujung barat sebagai tanda, senja akan menjelang. Burung-burung beterbangan, bersiap untuk merindu jalan pulang.
Aku sendiri saja di teras depan rumah. Menunggu sri, janji datang berkunjung, hanya sekedar membawakan soal-soal latihan UN. Sesekali aku menoleh ke jalan, berharap sri muncul dari balik gang itu.
Sudah satu jam, saat di ujung jalan, kulihat Sri mengayuh sepeda mininya, memasuki gang menuju rumahku. Dalam hitungan detik, ia telah berhenti di pagar depan. Kupersilakan ia duduk di teras depan.
“Maaf, agak terlambat....” sapanya
“tidak apa-apa”
“oh ya, ini soal-soal latihannya ndi...”
“Makasih ya sri”
“kok...sepi? pada kemana?” lanjut sri sambil membenarkan letak duduknya
“Ibu dan Bapak Pergi, hanya adikku yang ada di dalam”
“mau minum apa sri?”
“tidak usah, aku buru-buru, sebentar lagi maghrib”
Usai berkata, Sri pamit pulang. Kuantar dia sampai pagar depan. Dari balik pagar, kulihat sri melangkah semakin jauh, dan sebentar saja, sri menghilang di balik ujung jalan itu. Aku masih mematung, ketika sebuah tangan menepuk punggungku.
“Kak......!” wiwin, adik perempuanku menyadarkanku dari lamunan.
“hayo...ngelamunin siapa?” godanya
“masuk yuk...sudah maghrib” ajakku mengalihkan pembicaraan.
****

Hari itu, hari pertama, seluruh siswa/siswi kelas 3 SMA mengikuti Ujian Nasional. Sri, aku dan teman-teman lainnya, sudah sejak pagi berada di sekolah dan sibuk dengan bukunya masing-masing. Ujian hari itu, mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk pelajaran bahasa orang bule itu, sri tetap yang paling jago di sekolah. Dan waktu pagi itu, terasa cepat. Bel masuk berbunyi, sri, aku, juga yang lain memasuki ruangan.
Hari selanjutnya, selalu sama. Suasana tetap kondusif dan tenang. Siswa atau siswi yang pada hari biasa, banyak tingkah, hari itu disulap jadi pendiam, hingga akhir ujian.
“Sri.....”sapaku, saat melihat Sri berjalan gontai menuju parkir belakang kelas.
“Gimana ujiannya ndi?” tanyanya
“Mudah-mudahan, kita dan teman-teman, lulus ya sri...”
“Amin..”jawabnya
“Aku duluan ya ndi....sudah ditunggu ibu di rumah” pamitnya
Dan siang itu, kelak menjadi siang terakhir aku melihat senyum cerianya. Dan, tahukan kau kawan? Senyum itu yang diam-diam selalu kurindukan.
*****

Tiga minggu berlalu, selama itu, aku tidak lagi ketemu sri, dan teman-teman lainnya. Satu hari setelah selesai ujian, aku berlibur di kota propinsi, di tempat kakak laki-lakiku.
Hingga suatu pagi di sekolah, kudapati teman-temanku sedang duduk-duduk di depan kelas. Mereka menunggu pengumuman kelulusan. Seperti apa perasaan mereka? Mungkin saja, sama seperti halnya aku. Campur aduk, bingung, resah dan....aku tak menemukan sosok itu. Sri, dimanakah dia?
Tidak biasanya sri datang terlambat, tapi, aku memang belum melihatnya sejak tadi. Sakitkah?, sehingga ia tak bisa masuk sekolah mengambil pengumuman kelulusan?perasaan tak karuan menghantuiku.
“kau lihat sri, wan?” tanyaku pada wawan
“tidak ndi....”
Dimana dia?, ah....terasa waktu kian lambat saja. Menanti pengumuman, juga menanti kedatangan sri. Selang tiga puluh menit, penantian pertama berujung lega, haru, mungkin juga bahagia. Aku lulus, dan teman-teman dekatku seperti joni, wawan, irma, fendi, juga lulus. Namun penantian kedua, tak kunjung tiba. Hingga hari menjelang siang, tak ada tanda-tanda sri akan datang. Usai menunggu, kami berlima sepakat berkunjung ke rumah sri.
*****

Matahari di atas kotaku amat terik, ketika suatu siang, usai sholat dzuhur, aku dan teman-temanku berkunjung ke rumah sri. Agak terlalu jauh memang, karena harus melalui beberapa kota kecamatan dari sekolahan. Peluh membasahi tubuh kami, tapi tak kami hiraukan. Tujuan utama kami satu, menemui sri. Sudah separuh jam, aku dan teman-teman lalui. Dalam hitunganku, tinggal sepuluh menit, rumah sri terlihat. Dan benar, rumah ujung sendiri dekat sawah, itu rumah sri.
Seperti mempunyai firasat, sri telah menanti kami, di depan teras rumah. kami turun dari sepeda motor, dan langsung menyalami sri.
“Kok tidak masuk sekolah?” tanyaku, setelah kami dipersilakan duduk.
“Iya...”jawabnya singkat
“kenapa?”
“Bapak kepala sekolah semalem datang kesini, membawa ini....” sri mengambil sebuah amplop yang tergeletak di meja tamu, untuk diberikan padaku.
Perlahan kubuka isi amplop itu, amplop yang sama telah kudapatkan tadi di sekolah. Hening di ruangan itu, semua menunggu jawaban dariku, kecuali sri. Belum aku membacakan isi amplop itu, kudengar lirih suara sri
“aku belum berhasil....”
“aku tak seberuntung kalian”
Tak ada tangis di wajahnya, begitu tegar, sri menjelaskan panjang lebar kepada kami. Aku mendapati sosoknya, seperti batu karang yang tegap berdiri, meski badai menghantam.
“kalian tak perlu bersedih, aku pun tak sedih” lanjutnya
“Jalan yang ditentukan Tuhan untukku, tak sama dengan jalan kalian”
“aku yakin, masih ada kesempatan untukku memperbaiki”
Aku masih tertunduk, tak kuasa aku menatap wajah sri. Aku juga belum percaya. Ketidak lulusan sri, belum bisa kuterima akal sehatku. Sri adalah siswi berprestasi, sri siswi genius, sri juara tingkat nasional. Sebab ketidak lulusannya, nilai ujian Bahasa Inggris di bawah standar. Ironisnya, sri mahir berbahasa orang bule itu. Lama aku terdiam dalam kebisuan, di dasar hatiku yang dalam, sebuah tanya menggema, “Adakah alasan lain yang membuatku percaya, kenapa sri, sang maestro sekolahku tidak lulus?” *****


(kupersembahkan cerpen ini untuk adik-adiku di SMA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar